Minggu, 25 November 2012

Pelantikan Pramuka MTs Ma'arif Nurul Ulum Sukra



Kepala Madrasah dan Ketua Osis
Pelantikan ...?   Siapa takut,,,,!!!
Bagi anak - anak aktivis ORGANISASI PRAMUKA pelantikan adalah momen yang di tunggu2. Karena dari kegiatan tersebut mereka benar2 mendapatkan banyak kenangan pendidikan yang sangat menyentuh kalbu mereka,,,,
Suka Duka pun berbaur menjadi satu, tangis dan tawa pun berpadu menjadi satu kenangan yang tak kan mudah terlupakan.

Add caption
Banyak hikmah yang kita dapatkan dari pelantikan tersebut,,, mulai dari jiwa yang lebih kuat, lebih disiplin, bertanggug jawab, rela menolong dan kesetiakawanan.

Anggota KOSTRAZA pasti semangat dalam menjalankan setiap kegiatan yang ada dalam program kerja Dewan Pengurus Pramuka....
Kostraza ...... BRAVO !!!

Pak Agus Fauzan dan anak2
Penulis 
Pembina KOSTRAZA

Rabu, 07 November 2012

Jambore Ranting Sukra Kostraza menjadi Sang Juara

Jambore Ranting Sukra KOSTRAZA jadi Pemenang sejati !!!!

 Sesunggguhnya kemenangan sejati di tangan kita, Kami yakin apabila perlombaan jujur 100% kami lah sabg juara yang sebenarnya........

Kemenangan hakiki adalah sportifitas jiwa dan raga,,,, sportifitas lahir dan batin,,,, di sini kami bertanding dengan mempertahankan sportifitas yang sebenarnya.

Kami tahu ada yang main uang,,, kong kalikong,,,, pertukaran juri,,, pertukaran piala dan lain sebagainya....

Maaf,,, KOSTRAZA tidak mau kemenangan yang demikian...

Ingatlah,,, kemenangan dengan cara hitam pahit untuk kita kenang,,, tapi kemenangan dengan cara putih,,,, sanggat - sangat manis kita fikirkan dalam hati ini........

Pembina Kostraza naik zebra
Serah terima piala


Berjayalah selalu KOSTRAZA ku..............................
Kostraza putri beraksi
Kostraza Pa, kg a'o dan Pa Ibnu
Kostraza berjaya .........





Gapura putra

Jumat, 10 Agustus 2012

Anak-anak MTs gmn nich pendapnya ?


Tak terasa satu tahun telah berlalu, kini saatnya kita fitrikan jiwa dan raga kita masing - masing. Atas nama keluarga besar MtTs Ma'arif Nurul Ulum Sukra Mohon maaf lahir dan batin.

Jumat, 01 Juni 2012

SEJARAH BERDIRINYA NAHDATUL ULAMA

SEJARAH NU Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.

Keresahan Kiai Hasyim

Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.

Tongkat “Musa”

“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.

Bapak Spiritual

Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”
Lebih tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”
Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Wallahu a’lam.
Penulis:
Moh. Syaiful Bakhri
Penulis buku “Syaikhona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura” dan sekretaris Lajnah Ta’lif Wan Nasr NU Kabupaten Pasuruan. Pemuatan artikel ini juga merupakan penghormatan dan dukungan moril kepada PCNU Kab. Pasuruan yang berusaha mendorong terciptanya masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlakul karimah dengan menerbitkan buletin dua bulanan. Semoga usaha penerbitan ini bisa istiqamah.

Ciri-ciri calon Penghuni Syurga Firdaus



Ciri-ciri calon Penghuni Syurga Firdaus


(Tafsir : Q.S. 23 : Al Mukminuun : 1-11)
1.  Memiliki Iman yang Kuat/prima
     Ciri-ciri orang yang imannya kuat :
a.  Melaksanakan secara konsekuen aturan-aturan agama   (Q.S. 24 : An Nuur : 51)
b.  Memiliki kerinduan kepada Allah/merasakan kesertaan Allah (Q.S. 8 : Al Anfaal : 2-4)
c.  Hatinya selalu terbuka dengan nasehat (apabila dibacakan ayat-ayat Allah, bertambahlah    iman mereka)
d.  Memiliki Jiwa Tawakkal
i.  Kerja Keras
ii.  Dibingkai dengan kekuatan do’a
iii.  Syukur ketika meraih kesuksesan
iv.  Sabar ketika menjalani kegagalan/keterpurukan
e.  Orang yang konsisten mendirikan Sholat (ruh sholat terbawa dalam kehidupan sehari-hari)
f.  Menafkahkan sebagian rezeki yang diterimanya
2.  Khusyu’ dalam Sholat
Adalah sholat yang dilakukan dengan rasa  kerinduan kepada Allah, penuh penghayatan
terhadap makna bacaan Sholat dan dilakukan dengan tuma’ninah (antara gerakan dengan bacaan
harus seiring/sejalan)
Hasil Khusyu’  ; Merasa yakin akan bertemu dan akan kembali kepada Tuhan-Nya
3.  Orang yang meninggalkan hal-hal yang tidak berguna (perlu latihan)
4.  Memiliki Kepekaan Sosial
5.  Memiliki kemampuan menjaga kehormatannya (hawa nafsu dan syahwat)
6.  Menjaga Amanah (Kesehatan, Umur, Ilmu, Harta, Kedudukan/jabatan, Suami/Isteri, Anak, Janji)
7.  Memelihara Ruh Ibadah dalam kehidupan
8.  Semangat dalam menuntut ilmu
Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju Surga (H.R. Muslim)
9.  Menginfakkan hartanya untuk membangun Masjid (tempat Ibadah)
Siapa yang membangun masjid semata demi mencari keridhoan Allah, maka Allah akan
membangunkan untuknya sebuah rumah didalam Surga  (H.R. Muttafaqun’alaih)
10. Rajin melaksanakan ibadah Shaum
Sesungguhnya didalam Surga itu ada sebuah pintu yang dinamakan Royyan yang pada hari
kiamat nanti dimasuki oleh orang-orang yang melakukan puasa.  Tidak ada seorangpun yang masuk
melalui pintu itu selain mereka  (H.R. Muttafaqun’alaih)
11. Muttaqiin (Q.S. 3 : Ali Imran : 133-135) (Q.S. 2 : Al Baqarah : 3-4) (Q.S. 2 : Al Baqarah : 183)
(Q.S. 3 : Ali Imran : 130) (Q.S. 5 : Al Maa’idah : 8 ) (Q.S. 8 : Al Anfaal : 29) (Q.S. 10 : Yunus : 6) (Q.S. 39 : Az Zumar : 33)
Ciri-ciri calon Penghuni Syurga Firdaus (Tafsir : Q.S. 23 : Al Mukminuun : 1-11)
1.  Memiliki Iman yang Kuat/prima  Ciri-ciri orang yang imannya kuat :
a.  Melaksanakan secara konsekuen aturan-aturan agama   (Q.S. 24 : An Nuur : 51)
b.  Memiliki kerinduan kepada Allah/merasakan kesertaan Allah (Q.S. 8 : Al Anfaal : 2-4)
c.  Hatinya selalu terbuka dengan nasehat (apabila dibacakan ayat-ayat Allah, bertambahlah iman mereka)
d.  Memiliki Jiwa Tawakkal
i.  Kerja Keras
ii.  Dibingkai dengan kekuatan do’a
iii.  Syukur ketika meraih kesuksesan
iv.  Sabar ketika menjalani kegagalan/keterpurukan
e.  Orang yang konsisten mendirikan Sholat (ruh sholat terbawa dalam kehidupan sehari-hari)
f.  Menafkahkan sebagian rezeki yang diterimanya
2.  Khusyu’ dalam Sholat Adalah sholat yang dilakukan dengan rasa  kerinduan kepada Allah, penuh penghayatan terhadap makna bacaan Sholat dan dilakukan dengan tuma’ninah (antara gerakan dengan bacaan harus seiring/sejalan) Hasil Khusyu’  ; Merasa yakin akan bertemu dan akan kembali kepada Tuhan-Nya
3.  Orang yang meninggalkan hal-hal yang tidak berguna (perlu latihan)
4.  Memiliki Kepekaan Sosial
5.  Memiliki kemampuan menjaga kehormatannya (hawa nafsu dan syahwat)
6.  Menjaga Amanah (Kesehatan, Umur, Ilmu, Harta, Kedudukan/jabatan, Suami/Isteri, Anak, Janji)
7.  Memelihara Ruh Ibadah dalam kehidupan
8.  Semangat dalam menuntut ilmu Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga (H.R. Muslim)
9.  Menginfakkan hartanya untuk membangun Masjid (tempat Ibadah) Siapa yang membangun masjid semata demi mencari keridhoan Allah, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah didalam Surga  (H.R. Muttafaqun’alaih)
10. Rajin melaksanakan ibadah Shaum Sesungguhnya didalam Surga itu ada sebuah pintu yang dinamakan Royyan yang pada hari kiamat nanti dimasuki oleh orang-orang yang melakukan puasa.  Tidak ada seorangpun yang masuk melalui pintu itu selain mereka  (H.R. Muttafaqun’alaih)
11. Muttaqiin (Q.S. 3 : Ali Imran : 133-135) (Q.S. 2 : Al Baqarah : 3-4)(Q.S. 2 : Al Baqarah : 183) (Q.S. 3 : Ali Imran : 130) (Q.S. 5 : Al Maa’idah : 8 ) (Q.S. 8 : Al Anfaal : 29) (Q.S. 10 : Yunus : 6) (Q.S. 39 : Az Zumar : 33)

Senin, 14 Mei 2012

Kisah Abu Nawas

“Hai istriku sebaiknya kita bernazar kepada Allah”, kata seorang saudagar kepada istrinya, “Jika kita diberi anak laki-laki, aku akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya kita sedekahkan kepada fakir miskin.”
Rupanya sang saudagar tersebut sudah sangat merindukan lahirnya seorang anak, karena telah bertahun-tahun berumah tangga tidak kunjung diberi momongan oleh Tuhan. Kemudian ia menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak usah ditawar lagi.”
Ternyata usaha itu gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal, yang ada paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah, tidurpun tidak nyenyak. Terpilir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan sepuluh ekor kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain. Namun rencana itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negeri itu.
Ketika sampai di rumah seorang penghulu ternyata rumah itu sedang digunakan sebagai tempat pertemuan para penghulu seluruh negeri. “Apa maksud kedatangan adan kemari?” tanya penghulu yang tertua.
Ya tuan Kadi.” Jawab si saudagar itu. “Hamba mempunyai nazar yang sulit dipecahkan,” lalu diutarakan kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.
Tanduk Kambing
Tanduk Kambing
Ternyata para Kadi itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka bahkan menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal dimanapun dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula. “Kami semua tidak berani menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain.”
Kenyataan itu semakin bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke rumah. Pada suatu hari ia mendapat kabar, bahwa di Negeri Baghdad ada seorang Raja yang adil, arif dan bijaksana. Namanya Sultan Harun Al-Rasyid. Maka ia pun pasang niat menghadap Sultan ke Bagdad. Sesampai disana kebetulan baginda sedang duduk di Balairung bersama beberapa orang menteri.
“Hai orang muda, engkau berasal dari mana?” tanya baginda setelah melihat kedatangan saudagar muda ini.
“Ya Tuanku Syah Alam,” jawab Saudagar muda. “Ampun beribu ampun, adapun patik ini berasal dari Negeri Kopiah.”
“Apa maksudmu datang kemari, ingin berdagang,” tanya baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang dipertuan,” jawab si saudagar.
“Katakan maksudmu, supaya bisa kudengar,” titah baginda Sultan. Maka diceritakanlah perihal nazar itu sampai kepada keputusan para penghulu negeri kopiah dan niatnya menemui baginda Sultan di Bagdad. “Selanjutnya hamba mohon petuah dan nasehat Baginda agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna,” tutur saudagar itu dengan nada menghiba.
“Baikah,” kata Baginda, “Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan keluar.”
Saudagar itu pun mohon pamit dengan hati berbunga-bunga kembali ketempat penginapannya.
Alkisah, Sultan pun bingung memikirkan nazar Saudagar itu, sepanjang siang dan malam ia tidak dapat memicingkan matanya, dengan apa nazar itu akan di bayar bila kambing bertanduk sejengkal tidak di dapat juga. Diganti dengan yang lain, haram hukumnya. Malam harinya beliau mengumpulkan para Kadi, dan alim ulama di istananya. Kepada mereka beliau menyatakan keresahan hatinya sehubungan dengan nazar saudagar dari kopiah itu. “Tolong berikan pertimbangan kepadaku malam ini juga karena aku sudah terlanjur berjanji kepadanya untuk menerimanya menghadap esok pagi.” Titah Baginda Sultan. “Atau aku akan mendapat malu besar.”
Suasana balairung pun hening, sunyi senyap berkepanjangan. Mereka termenung dan terpekur memikirkan titah Sultannya. Namun tidak juga ditemukan jalan keluarnya.
“Ya Tuanku Syah Alam,” kata salah seorang yang tertua di antara mereka. “Tidak ada hukumnya, baik menurut kitab maupun logika, bahwa nazar itu boleh diganti dengan barang lain,” setelah itu satu persatu mereka mohon diri meninggalkan balairung dan pertemuan pun bubar.
Baginda lalu masuk istana, mau tidur, tetapi mata itu tidak mau diajak kompromi, karena otak masih terfokus pada masalah nazar dan malu besar yang akan dihadapinya esok pagi. Menjelang subuh baginda pun teringat kepada Abu Nawas. Tidak ada manusia yang dapat memutuskan hal ini selain Abu Nawas,” pikir Baginda dengan suka cita. Setelah itu barulah baginda dapat memicingkan matanya, tidur pulas sampai pagi.
Begitu bangun, diutuslah penggawa memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas tiba dihadapannya, baginda pun mengutarakan perihal nazar saudagar dari negeri Kopiah itu dan semua usaha yang sudah ditempuhnya serta malu besar yang akan didapatnya sebentar lagi, karena para Kadi, dan orang alim seluruh negeri, tidak dapat memberi jalan keluar. Apalagi sebentar lagi saudagar dari kopiah itu akan menghadap ke Istana. “Apa pendapatmu tentang hal itu?” tanya baginda sultan dengan sorot mata ingin tahu jawaban Abu Nawas.
“Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas ringan. “Janganlah tuanku bersusah hati, jika tuanku percaya Insya Allah hamba dapat menyelesaikan perkara ini.”
Tak berapa lama kemudian balairung pun dipenuhi orang-orang yang ingin tahu keputusan Baginda Sultan tentang nazar saudagar dari negeri kopiah itu. Baginda memanggil saudagar tersebut dan memerintahkan Abu Nawas memecahkan masalah itu. “Hai saudagar, bawalah kemari anakmu, dan seekor kambing yang besar badannya,” kata Abu Nawas.
Mendengar perkataan Abu Nawas itu semua orang terheran-heran, termasuk Baginda Sultan dan si saudagar itu. “Apa maksud Abu Nawas kali ini?” pikir mereka.
Si saudagar itu menyatakan kesediaaannya membawa anak dan seekor kambing paling besar serta mohon pamit pulang ke negeri kopiah. Baginda Sultan masuk Istana, melanjutkan tidurnya, dan pertemuan pagi itu pun bubar.
Sesuai dengan janjinya, saudagar itu pun datang kembali ke Bagdad beberapa hari kemudian. Ia membawa istri, anak dan seekor kambing, langsung menghadap Sultan di Istana.
“Datang juga engkau kemari, hai saudagar,” kata Baginda Sultan. “Tunggulah sebentar, akan aku kumpulkan penghulu dan rakyat,” kemudian Baginda menyuruh memanggil Abu Nawas.
Akan halnya Abu Nawas, ketika mengetahui di jemput ke Istana, ia pura-pura sakit. Baginda Sultan yang diberi tahu hal itu memaksa agar Abu Nawas di bawa dengan kereta Kerajaan. Maka berangkatlah Abu Nawas ke Istana dengan mengendarai kereta kencana yang ditarik dua ekor kuda.
“Mengapa kamu terlambat datang kemari?” tanya Baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik terlambat datang karena patik sakit kaki,” jawab Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas…” kata Sultan. “Saat ini telah datang kemari saudagar itu bersama istri, anak dan seekor kambing yang besar badannya. Coba selesaikan masalah ini dengan baik.”
“Baiklah,” kata Abu Nawas, “Akan hamba selesaikan masalah ini.” Bukan main senang hati Baginda mendengar jawaban itu.
Abu Nawas menarik kambing dan anak saudagar itu. Jari tangan kiri anak tersebut dijengkalkan ke tanduk kambing dan ternyata sama panjangnya. Baginda Sultan dan seluruh yang hadir di balairung heran memikirkan ulah Abu Nawas.
“Ya tuanku, hamba mohon ampun,” kata Abu Nawas. “Jika hamba tidak salah ingat, saudagar itu mengatakan bahwa lebar tanduk kambing itu sejengkal. Karena yang dinazarkan anak ini, jari anak inilah yang hamba jengkalkan ke tanduk kambing itu, dan ternyata pas benar. Jadi kambing ini boleh disembelih untuk membayar nazar. Itulah pendapat hamba. Jika salah, hamba serahkan keputusannya kepada Baginda dan semua orang yang hadir disini.”
“Pendapat Abu Nawas aku kira benar,” kata Baginda Sultan. Dengan sangat meyakinkan.
Bukan main senang hati saudagar itu karena ia dapat membayar lunas nazarnya. Maka diberikanlah hadiah kepada Abu Nawas berupa uang seratur dirham, kemudian ia mohon pamit kepada Sultan, pulang ke negerinya.

Senin, 23 April 2012

KEJUJURAN .

Jujur, adalah sikap pribadi. Jujur diekspresikan dengan kata-kata atau sikap yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Tidak ditutupi atau bahkan tidak menipu. Jujur adalah energi positif. Menyatakan sesuatu dengan langsung, spontan, lugas, apa adanya akan menghemat waktu dan energi.
alasan kenapa perlu jujur adalah terhindar dari masalah-masalah:
kemungkinan terjadi kesalahpahaman
kemungkinan menghindar secara emosional
kemungkinan menyakiti perasaan orang lain yang sebenarnya tidak perlu kita lakukan
kemungkinan membuang-buang waktu dan energi mental dengan percuma
Setiap manusia pasti pernah merasakan atau terlibat dengan hal yang berkaitan dengan kejujuran ini. Pernah merasa dibohongi, pernah menemukan kejujuran, bahkan mungkin pernah melakukan kebohongan atau berlaku jujur. Dari semua pengalaman yang mungkin itu, setiap manusia tentu tahu bagaimana rasanya. Rasa ketika tahu dibohongi, rasa ketika menemukan sebuah kejujuran. Berbagai rasa, sulit untuk diungkapkan, tapi jujurlah.. apa yang menjadi pilihan ? jujur atau tidak jujur ?
Untuk berlaku jujur, itu tidak mudah. Ada rasa malu, takut, marah atau gengsi. Tapi, energi besar yang diperlukan untuk jujur hanya sesaat. Setelah itu, energi besar lainnya akan segera didapat. Apa itu ? pemahaman, pengertian, penghargaan, penghormatan, kasih sayang dan cinta. Semua energi besar itu akan semakin kuat dan sejati dengan suntikan kejujuran.
Rasululloh bersabda, “Hendaklah kamu sekalian berbuat jujur. Sebab kejujuran membimbing kearah kebajikan. Dan kebajikan membimbing kearah syurga. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat jujur dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kejujuran sehingga dia ditulis disisi Allah sebagai orang jujur. Dan hindarilah perbuatan dusta. Sebab dusta membimbing kearah kejelekan. Dan kejelekan membimbing kearah neraka. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat dusta dan bersungguh-sungguh dalam melakukan dusta sehingga dia ditulis disisi Allah sebagai pendusta” (HR. Bukhari Muslim)
Kejujuran adalah harga mati. Jika kejujuran hilang dari muka bumi, maka peradaban dunia tidak akan lagi bersahabat dengan manusia. Kepalsuan seorang penguasa dalam berjanji dan curang dalam mengelola negara akan menimbulkan kesusahan masal pada rakyatnya. Kepalsuan seorang karyawan untuk memperoleh keuntungan ‘haram’ dan menjilat pimpinan demi perlakuan yang lebih baik, cepat atau lambat itu akan membuat kehancuran perusahaan. Kebohongan seorang istri kepada suami dalam mengurus rumah tangga akan bermuara pada jauhnya iklim sakinah dalam keluarga, begitupun sebaliknya. Kejujuran antara suami, istri dan anak akan membuat ketentraman dan keberkahan, karena Allah Ta’ala akan selalu menaungi keluarga hamba-Nya yang jujur.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS.33:70-71)
Kejujuran bukanlah suatu kelebihan tetapi sebuah kewajiban. Semoga bermanfaat

Masih ada kata 'JUJUR' kah di hati kita ?



        SELASA (24/4) ini adalah hari kedua pelaksanaan Ujian Negara (UN) yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia. Apakah kali ini UN sudah berubah dari tahun-tahun sebelumnya? Ataukah ada perbaikan?

Secara nasional, jumlah peserta ujian nasional tahun ini 10.873.873 siswa, terdiri atas 4.536.020 peserta ujian SD/MI, 3.746.968 untuk tingkat SMP/MTS, 1.538.010 untuk SMA/ MA, dan 1.052.875 peserta ujian SMK. Memang ada keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2596K/PDT/2008 tetapi tidak ada kata-kata yang tegas melarang pelaksanaan ujian itu sehingga pemerintah tetap melaksanakannya, dengan penekanan harus jujur dan kredibel.)
Persoalannya, benarkah UN dilaksanakan dengan penuh kejujuran dan kredibel? Faktanya, dari tahun ke tahun, persoalan kebocoran soal, kebiasaan menyontek dan sejenisnya masih terjadi sehingga aneka macam kecurangan masih mewarnai pelaksanaannya sampai sekarang. Karena itu, hakikat UN adalah ujian kejujuran sekaligus kualitas bagi peserta didik, guru, dan pihak yang terkait dengan pendidikan.
Pakar pendidikan HAR Tilaar berpendapat bahwa ujian nasional sangat diperlukan untuk melakukan standardisasi pendidikan. Melalui cara itu diharapkan pemerintah mengetahui kualitas yang dicapai. Persoalannya, seperti dikemukakan Komaruddin Hidayat, masih ada karut-marut dalam dunia pendidikan kita terkait dengan kompetensi lulusan yang belum jelas standarnya, ujian selalu bocor demi mengejar nilai, dan ketika lulusan mencari pekerjaan pun penuh suap dan kolusi.

Kecurangan dalam UN, dari tahun ke tahun
Yang mengejutkan, kecurangan terjadi secara sistematis karena melibatkan kepala sekolah, guru, tim sukses sekolah bahkan dinas pendidikan. Berikut data kecurangan yang terjadi selama tiga tahun terakhir. Tahun 2007 jenis kecurangan UN bervariasi antara lain di Sumatera Barat 1 kasus, Sumatera Selatan 42 kasus, Sumatera Utara 26 kasus, Sulawesi Tengah 1 kasus, NTB 6 kasus, Maluku 5 kasus, Jawa Barat 4 kasus, Banten 2 kasus, Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing 2 kasus. Modus operandinya pencurian naskah, penjualan naskah ujian, kebocoran naskah, keterlambatan pelaksanaan ujian, dan membuatkan kunci jawaban UN.
Sementara untuk UN tahun 2008 tingkat SMA/SMK diwarnai dengan kebocoran soal dan kecurangan serta lemahnya pengawasan seperti terjadi di SMA Negeri 2 Lubuk Pakam, Deliserdang Sumatera Utara, sejumlah 16 guru kepergok sedang membetulkan lembar jawaban mata pelajaran Bahasa Inggris dengan jumlah peserta didik 284 yang dimotori Kepala Sekolah yang berkapasitas sebagai ketua kelompok (rayon) yang membawahi lima sekolah.
Di Solo juga ditemukan kecurangan dengan mengungkap jawaban UN melalui SMS yang dikirim oleh seseorang dan bocornya soal UNPK paket C. Di Banten juga terjadi kebocoran di Madrasah Tsanawiyah Kabupaten Pandeglang karena membuka segel pada malam hari untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia dan menandai 52 lembar naskah soal Bahasa Indonesia yang merupakan kunci jawaban untuk membantu peserta didik.
Pada tahun 2009 di Kabupaten Bengkulu Selatan 16 kepala sekolah terlibat pembocoran soal UN. Soal-soal cadangan UN yang mestinya disimpan secara rahasia justru oleh petugas dinas pendidikan setempat dibawa ke SMAN 1. Di tempat itu petugas kemudian membagi-bagikan soal-soal itu kepada 16 kepala sekolah yang telah berkumpul. Ketika polisi masuk ke ruangan didapati para kepala sekolah sedang mengerjakan soal-soal UN SMA yang diawasi langsung Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Bengkulu Selatan.
Di Bandung Jawa Barat soal UN mata pelajaran Bahasa Inggris diduga bocor. Bahkan di Bandung juga ditemukan beredarnya kunci jawaban Matematika melalui telepon seluler dan setelah di-cross check dengan soal yang asli ternyata sesuai. SMS tersebut beredar di kalangan siswa, guru, dinas setempat bahkan wartawan. Sementara di Medan, Sumatera Utara pengawas menemukan 20 lembar jawaban ada di tangan siswa.
Tahun ini? Kita masih akan terus menunggu sampai beberapa hari mendatang. [sa/islampos/pikiranrakyat/suaramerdeka/smayani/suaraguru]